Menyesal? Sudahlah Jalani Saja

Agustus 09, 2016

Libur panjang yang menuai penyesalan. Siap atau tidak mengambil resiko yang akan aku ambil ketika sudah menjalani hari-hari itu. Ya Tuhan, libur tiga bulan ini yang semestinya aku gunakan untuk quality time bersama keluargaku sudah habis masanya. Sesal, menyesal, sungguh disesalkan. Liburan bulan pertama dengan ego yang terlalu memuncak aku berangkat seorang diri menuju ibu kota provinsi yang ramai dihuni pendatang dari seluruh penjuru negeri. Berbekal dokumen lengkap beserta beberapa potong pakaian menemaniku melewati teriknya kota itu.
“Pak, Gubeng Baru turun sebelah mana ya?” Kutukan si manja yang dituntut mandiri untuk turun dari stasiun yang sama sekali belum pernah ia lewati.
Awalnya ibu menyuruhku naik angkot menuju asrama. Matahari terlalu terik dan muncul perasaan ‘takut salah jalan’. Tak mau buang-buang waktu kuhampiri tukang ojek dekat gerbang stasiun. Ongkos awal cukup untuk makan dua hari di sini. Tawar sana sini diambilah kesepakatan harga yang lumayan standar, dua puluh ribu rupiah. Dirundung kegelisahan sepanjang perjalanan. Uang dua puluh ribu, seharusnya masih ada sisa lima belas ribu jika mau berjalan kaki ke depan fakultas kedokteran lalu naik angkot menuju asrama. Ah, nasi sudah menjadi bubur.
Begitu mulus mengawali karir menjadi seorang aktivis. Mengumpulkan berkas dan menjalani screening dalam satu minggu, lalu menunggu pengumuman hingga akhirnya dinyatakan lolos seleksi. Bahagia? Kupikir tidak. Ketakutan ketika tidak bisa pulang kampung ketika weekend, IP turun di semester tiga seperti mitos-mitos yang beredar di jurusan, hingga tersingkirnya kata istirahat dari kamus kehidupanku. Kalau mencurahkan hati also known as berkonsultasi kepada teman yang notabene hampir bijak, mereka akan memberi solusi “Buang pikiran negatif, selama masih bisa bagi waktu semuanya akan baik-baik saja”. Basi sekali menurutku, Ya Tuhan. Rasakan perbedaan antara berorganisasi saat SMA dan kuliah. Pertama, saat SMA ketika pulang agak malam sekitar pukul setengah tujuh selepas maghrib ibu dan ayahmu sudah siap dengan amarah dan rasa kekhawatiran yang mereka pendam. Saat itu entah tersadarkan diri atau tidak, kau tak akan mengulangi kesalahan yang sama. Kedua, saat kau mulai mengurusi kegiatan besar di sekolah lalu pulang hanya membawa lelah, ayahmu akan memberikan pijatan yang membuat tubuhmu lebih ringan dan ibumu akan menawarkan kamu makan malam. Itu sebuah kebahagiaan bagiku. Bagaimana dengan kuliah? Jangankan pulang pukul tujuh malam, bahkan ketika kau tidak pulang ke kos pun orangtuamu tidak akan pernah tahu. Merasakan kelelahan selepas rapat komunal yang begitu menguras pikiran, jarang sekali ada teman kos yang memberi secuil simpatinya kepadamu dengan sekedar bertanya “Bagaimana dengan harimu?”.
Dikatan cengeng, iya memang sekilas terlihat cengeng. Aku mulai kuliah saat umurku menginjak 17 tahun lebih enam bulan, usia yang ideal untuk anak kelas tiga SMA. Tekadku untuk melanjutkan kuliah benar-benar sudah bulat. Kau tahu? Di lingkungan sekitarku tak banyak anak perempuan seusiaku yang melanjutkan kuliah di dalam maupun di luar kota. Kebanyakan dari mereka memilih bekerja bahkan melangsungkan pernikahan. Banyak juga yang bergunjing, “Sekolah jangan tinggi-tinggi, kalau disini beruntung bakal sukses sendiri.”
Mengapa juga aku disini kalau jadi pengangguran, berangkat ke kota orang siapa tau dapat rezeki sebelum menyandang gelar. Sebuah guyonan kecil terlontar dari ibu saat aku tengah asik bermain lego dengan keponakanku.
“Alhamdulillah bisa kuliah, kalau tidak sudah ibu carikan suami untukmu.” Rencana Tuhan lebih indah. Aku tidak diizinkan untuk menikah dulu sebelum membelikan ayah mobil dan membangun rumah disamping kebun.
“Orang daerah timur situ, kemarin menawarkan anaknya lagi.” Lanjut Ibu.
Aku sedikit cemberut, “Ibu kenal?”
Ibuku lantas menggelengkan kepala.
“Aku sudah beda jaman dengan Siti Nurbaya.”
Jangan pernah menyesal mengambil keputusan untuk kuliah, tapi berpikirlah ketika akan menjalani suatu kesibukan diluar jam kuliah. Kisah hidup orang memang tak sama, bisa jadi ketika kau tidak jadi kuliah ayahmu malah membelikanmu sawah lalu kau menjadi petani hebat atau bisa saja kau tidak kuliah terlebih dahulu untuk bekerja lalu berangkat kuliah. Tak peduli apapun langkah baik yang kau ambil, kutunggu kalian empat belas tahun mendatang, 1 Januari 2030.

You Might Also Like

0 comments