Mengapa kami digusur?
Apa salah kami?
Enam tahun Obi menempuh pendidikan di
sebuah sekolah pinggir jalan. Sekolah itu telah berdiri sejak nenek Obi masih
berusia lima tahun. Benar-benar lama sekali sekolah itu menjalankan aktifitas belajar
mengajarnya di kota kecil ini. Tak banyak toko dan rumah berjejeran, hanya
pohon-pohon besar yang mengelilingi sudut kota mendominasi. Obi menginjakkan
kaki di sekolah itu saat bangunan tua tersebut telah berusia 60 tahun.
Obi melihat sekelilingnya. “Kayunya
tak rapuh sedikitpun, bahkan temboknya juga masih bagus dan hanya retak
sedikit”. Pikir Obi saat masih kecil.
Suka, duka, tangis, dan tawa semua
menjadi satu disana. kenangan terindah saat Obi dituduh menjatuhkan temannya
saat bermain kucing-kucingan pun juga masih teringat. Ketika dia menangis
karena dihakimi teman sekelas, ketika ransel kecilnya dimasuki cacing oleh
temannya, ketika dia mendapatkan nilai seratus saat ulangan PKN, semuanya masih
terekam jelas di memori otaknya. Satu hal lagi yang tak akan bisa ia lupakan,
bertemu dengan Ramos, kawan barunya pindahan dari Denpasar.
¶¶¶
“Haha... lucunya”. Kata Obi.
Dari semua kejadian itulah Obi semakin
kuat dan tegar dalam menjalani hidup. Walaupun saat sekolah dasar ia selalu di-bully
oleh teman-temannya yang lebih tua darinya, ia tak akan balik mem-bully
temannya yang sekarang dengan alasan untuk balas dendam. Dalam hati kecilnya ia
merasakan betapa tersisihnya posisi seseorang yang selalu terpojokkan. Persis seperti
yang ia alami sebelumnya Obi tak ingin hal itu terjadi pada orang lain, cukup
dia saja yang menimpanya.
Dewasa ini Obi mulai mencoba
menelusuri bagaimana lima tahun silam dia bisa tersingkir dari sekolah itu.
sekolah yang Obi temapati tiba-tiba saja di pindah ke tengah sawah. Hanya karena
masalah berebut tanah wakaf masalah bisa menjadi sebesar ini.
Tanah yang dulu diwakafkan untuk
dibangun sekolah, lima tahun yang lalu seseorang datang untuk mengambil alih
kembali tanah wakaf tersebut dengan alasan dia adalah cucu dari si pemilik
tanah. Akhirnya gugatan itu dimenangkan oleh si pemilik tanah. Terpaksa Obi,
teman-teman Obi, dan guru-guru Obi pindah bangunan ke tengah sawah.
“Betapa teganya orang itu, membiarkan
anak seusia kami bermain dan berkeliaran kesana kemari di tengan-tengah area
persawahan, bercuaca panas, serasa matahari berada satu jengkal di atasa
kepala!”. Keluh Obi.
“Bagaimana bisa sepicik itu? Bukankah
ada sertifikat bangunannya?”. Tanya Garry, teman Obi di SMA.
Obi menaikkan pundaknya. “Entahlah,
gue dulu masih imut-imut masih polos, belum ngerti begituan!”. Jawab Obi.
“Sampai sekarang loe masih berkunjung
ke sana?”. Tanya Garry.
“Kesana? Kemana? Ke sekolah yang lama
atau bangunan baru?”. Obi balik bertanya.
Mengusap dahinya. “Lah yang sekolah
baru dong!”. Kata Garry.
“Oh... masih kok, tapi sekarang udah
jarang!”. Jawab Obi.
“Sekolah... eh, salah! Maksudnya bangunan
lama sekarang di pakai apa? Lahan kosong? Angker dong!”. Tanya Garry.
“Hush... angker kepala lu! Itu tanah
udah dibuat bangunan proyek besar. Malah bangunan yang di sebelahnya juga
digusur!’. Kata Obi.
Garry tak bisa menutup mulutnya karena
terheran-heran. “Aneh tu orang. Gak kasihan ya sama anak kecil. Udah-udah...
belajar dulu, malah ngrumpi!”.
“Hehe...!”. Obi tertawa kecil.
¶¶¶
Namanya juga orang lagi butuh uang,
tanah wakaf pun jadi pengorbanan. Mungkin ini cobaan yang sudah sering dan umum
terjadi di Indonesia. Pendidikannya aja tak terurus, bagaimana mau mencetak
generasi bangsa yang berkualitas?
-Sekian-