Mimpi Buruk Obi -Cerpen-

November 20, 2013

Mengapa kami digusur? Apa salah kami?
          Enam tahun Obi menempuh pendidikan di sebuah sekolah pinggir jalan. Sekolah itu telah berdiri sejak nenek Obi masih berusia lima tahun. Benar-benar lama sekali sekolah itu menjalankan aktifitas belajar mengajarnya di kota kecil ini. Tak banyak toko dan rumah berjejeran, hanya pohon-pohon besar yang mengelilingi sudut kota mendominasi. Obi menginjakkan kaki di sekolah itu saat bangunan tua tersebut telah berusia 60 tahun.
          Obi melihat sekelilingnya. “Kayunya tak rapuh sedikitpun, bahkan temboknya juga masih bagus dan hanya retak sedikit”. Pikir Obi saat masih kecil.
          Suka, duka, tangis, dan tawa semua menjadi satu disana. kenangan terindah saat Obi dituduh menjatuhkan temannya saat bermain kucing-kucingan pun juga masih teringat. Ketika dia menangis karena dihakimi teman sekelas, ketika ransel kecilnya dimasuki cacing oleh temannya, ketika dia mendapatkan nilai seratus saat ulangan PKN, semuanya masih terekam jelas di memori otaknya. Satu hal lagi yang tak akan bisa ia lupakan, bertemu dengan Ramos, kawan barunya pindahan dari Denpasar.
¶¶¶
          “Haha... lucunya”. Kata Obi.
          Dari semua kejadian itulah Obi semakin kuat dan tegar dalam menjalani hidup. Walaupun saat sekolah dasar ia selalu di-bully oleh teman-temannya yang lebih tua darinya, ia tak akan balik mem-bully temannya yang sekarang dengan alasan untuk balas dendam. Dalam hati kecilnya ia merasakan betapa tersisihnya posisi seseorang yang selalu terpojokkan. Persis seperti yang ia alami sebelumnya Obi tak ingin hal itu terjadi pada orang lain, cukup dia saja yang menimpanya.
          Dewasa ini Obi mulai mencoba menelusuri bagaimana lima tahun silam dia bisa tersingkir dari sekolah itu. sekolah yang Obi temapati tiba-tiba saja di pindah ke tengah sawah. Hanya karena masalah berebut tanah wakaf masalah bisa menjadi sebesar ini.
          Tanah yang dulu diwakafkan untuk dibangun sekolah, lima tahun yang lalu seseorang datang untuk mengambil alih kembali tanah wakaf tersebut dengan alasan dia adalah cucu dari si pemilik tanah. Akhirnya gugatan itu dimenangkan oleh si pemilik tanah. Terpaksa Obi, teman-teman Obi, dan guru-guru Obi pindah bangunan ke tengah sawah.
          “Betapa teganya orang itu, membiarkan anak seusia kami bermain dan berkeliaran kesana kemari di tengan-tengah area persawahan, bercuaca panas, serasa matahari berada satu jengkal di atasa kepala!”. Keluh Obi.
          “Bagaimana bisa sepicik itu? Bukankah ada sertifikat bangunannya?”. Tanya Garry, teman Obi di SMA.
          Obi menaikkan pundaknya. “Entahlah, gue dulu masih imut-imut masih polos, belum ngerti begituan!”. Jawab Obi.
          “Sampai sekarang loe masih berkunjung ke sana?”. Tanya Garry.
          “Kesana? Kemana? Ke sekolah yang lama atau bangunan baru?”. Obi balik bertanya.
          Mengusap dahinya. “Lah yang sekolah baru dong!”. Kata Garry.
          “Oh... masih kok, tapi sekarang udah jarang!”. Jawab Obi.
          “Sekolah... eh, salah! Maksudnya bangunan lama sekarang di pakai apa? Lahan kosong? Angker dong!”. Tanya Garry.
          “Hush... angker kepala lu! Itu tanah udah dibuat bangunan proyek besar. Malah bangunan yang di sebelahnya juga digusur!’. Kata Obi.
          Garry tak bisa menutup mulutnya karena terheran-heran. “Aneh tu orang. Gak kasihan ya sama anak kecil. Udah-udah... belajar dulu, malah ngrumpi!”.
          “Hehe...!”. Obi tertawa kecil.
¶¶¶
          Namanya juga orang lagi butuh uang, tanah wakaf pun jadi pengorbanan. Mungkin ini cobaan yang sudah sering dan umum terjadi di Indonesia. Pendidikannya aja tak terurus, bagaimana mau mencetak generasi bangsa yang berkualitas?


-Sekian-

You Might Also Like

0 comments