Hujan Tak Selalu Kejam

Juli 28, 2016

Bola voli seberat 0,2 kg itu berhasil mendarat dan menghantam tepat di dahi seorang gadis bernomor punggung dua belas. Dia melirik ke arahku, spontan aku cekikikan melihatnya kesakitan. Aku menghampiri dan melihat wajahnya yang dekil dan kusam dipenuhi debu tipis yang menempel di pipinya.
“Masih sakit?” tanganku mengetuk dahinya dan bisa dipastikan bagian tubuh paling jenong itu akan terasa lebih sakit. Aku merasakannya.
“Makanya kalau ada umpan itu diladenin, bukannya malah bengong.” Aku masih pada posisi menatap wajah polosnya.
“Sialan! Bisa tidak sehari aja gak jahat sama Mira?” Katanya sambil menggerutu. Dia mulai tersenyum saat tanganku beralih mengusap rambutnya.
Dia adalah Almira, putri semata wayang teman ibuku yang dirawat oleh orangtuaku sejak usianya enam tahun. Karena seumuran, aku dan Almira bersekolah di tempat yang sama walaupun beda kelas. Siapa sangka banyak yang mengira aku dan Almira berpacaran. Berangkat dan pulang sekolah bersama, bermain voli setiap Sabtu pagi, dan membawa bekal yang sama setiap hari. Meskipun aku dan Almira memliki banyak persamaan dan sering berdamai, tapi tak jarang ada pertengkaran di antara kami. Almira memang terlihat masih seperti anak kecil, maka dari itu ayah dan ibuku mewajibkanku untuk menjaga dan melindungi Almira saat di sekolah. Alhasil dia menganggapku seperti kakak kandungnya sendiri.
“Aku mogok latihan kalau hujan turun. Tolong bilang ke teman-temanmu untuk jangan memaksaku bermain voli!” Bentak Almira kepadaku setelah beberapa kejadian sebelumnya aku dan teman-teman tetap memaksanya untuk ikut latihan. Sejauh yang aku tahu, Almira paling tidak suka ketika hujan turun dan dia masih berkeliaran di luar rumah. Entah dia memiliki penyakit Aquagenic pruritus atau sejenis alergi terhadap air, ayah dan ibu tak pernah sekalipun bercerita kepadaku.
Aku tetap melanjutkan latihan meskipun cuaca hari ini tampak mendung. Almira mulai menampakkan kegelisahannya. Dia tak lagi fokus dengan bola di hadapannya. Berulang kali aku berteriak agar tetap fokus, apa daya himbauan dariku tak bisa melawan rasa takutnya pada air hujan.
“Kamu kenapa sih?” Aku memegang lengannya erat.
“Ayo berteduh, jangan hujan-hujan” Jawabnya.
Aku mengarahkan badanku tegap di hadapannya. Mataku menatap lurus ke bola mata Almira. “Dengarkan aku, tolong untuk kali ini saja kita latihan meskipun hujan datang. Besok lusa ada pertandingan” Aku masih memegang kedua lengannya.
Almira berusaha melepaskan lengannya dari genggamanku. “Kamu dan teman-temanmu saja yang latihan. Aku tidak mau tersentuh air hujan. Dengar itu, Farel?” Balas Almira dengan sedikit membentak.
Langit perlahan mulai petang. Aku dan Almira masih bertahan dengan argumen masing-masing.
“Alergi? Kamu gatal-gatal? Kulitmu mengelupas? Hei Mira, Kamu tak pernah bercerita apapun tentang ini. Apakah kamu tidak ingin ada pertandingan? Atau kamu tak pernah punya impian untuk membanggakan ayah dan ibumu?” Aku sedikit emosi karena ku pikir Almira terlalu egois.
“Jangan pernah sebut orangtuaku! Aku tidak pernah mengajakmu bertengkar seserius ini. Tapi kali ini aku benar-benar benci padamu!” Almira menitikkan air matanya. Hujan mulai turun, Almira pun berlari menuju kelas dan aku masih terdiam membisu di tengah lapangan.
Dan sore itu, hujan deras membasahi gedung sekolah kami. Sekolah sepi, hanya tinggal aku dan Almira berada di salah satu kelas yang tak jauh dari lapangan. Aku menarik kursi ke dekat Almira yang duduk termenung di pojokan.
“Maafkan aku, Mir.” Tanganku gemetar menyentuh tangannya. Perlahan dia mulai mau melihatku dibalik jaket birunya.
“Sudahlah lupakan. Aku juga minta maaf karena terlalu egois.” Dia menjabat tanganku dan menampakkan senyumnya.
Aku menghela napas panjang “Sebenarnya apa yang kamu takutkan? Toh aku selalu melindungimu kalau terjadi sesuatu. Yah gak harus diceritakan kalau memang itu terlalu privasi buatmu.”
Suara petir yang menggelegar tak membuatnya lantas kaget dan berteriak. Dia hanya menutup mata dan diam sejenak. Almira meneteskan air mata. “Hujan deras sepuluh tahun yang lalu benar-benar kejam. Dia yang mengantarkan ayah dan ibuku ke pusara. Ketika itu aku sedang berlibur ke luar kota menyusuri hari yang panjang hingga aku tertidur pulas. Hari itu hujan turun sangat deras dan membuat jalan yang kami lewati semakin licin. Entah apa penyebabnya tiba-tiba ayah hilang kendali dan mobil kami terperosok ke jurang. Mengapa aku tidak ditakdirkan untuk mati saja saat itu jika aku terbangun hanya untuk melihat ayah dan ibuku meregang nyawa disana. Tidak ada yang tau keberadaan kami. Hujan dan petir itu seolah menjadi penghalang ayah dan ibuku untuk selamat. Aku pun pingsan dan terbangun di sebuah rumah. Aku melihatmu, tante, dan oom, tapi tidak dengan kedua orang tuaku. Semuanya sudah berakhir”
Aku begitu terpukul mendengar kisahnya. Tanganku meraih lengan Almira dan memeluknya. “Jangan bersedih lagi, ada Farel disini. Kamu harus tau, tidak semua rintik hujan itu kejam. Kejadian yang menimpamu itu rencana Tuhan.” Perlahan aku mengusap air mata di pipinya.
“Ayo ikut aku.” Aku menggandengnya keluar kelas.
Hujan tak sederas tadi. Aku menatap Almira yang masih ketakutan dengan hujan. “Tidak ada yang perlu ditakuti. Hujan tak lebih menyeramkan dari bola voli yang terus mengejarmu hingga mengenai dahi. Kamu seorang pemberani, bahkan lebih berani dariku saat berkelahi dengan Tatiana si tukang genit. Ulurkan tanganmu dan biarkan hujan menyentuhnya.”
“Tidak!” Almira menolak dengan keras.
Aku mengulurkan tanganku ke tetesan air hujan. “Lihat! Ini dingin dan menyenangkan.” Aku tersenyum dan kembali menarik tangannya.
Tangannya bergemetar, dia bersembunyi di belakangku. Dan akhirnya satu per satu tetes air hujan mengenai telapak tangannya. Tangan kirinya menggenggam bajuku dengan erat. Sudah puluhan kali air hujan menetes, dia mengintip dan mulai tenang.
“Dingin.” Dia membolak-balikan tangannya.
Aku berjalan menuju lapangan. Tubuhku basah. “Almira, kalau berani ayo kesini! Kalau tidak, aku akan menganggapmu lebih genit dari Tatiana!” Aku berteriak dari lapangan.
Almira terlihat geram. Dia melepas sepatunya dan berlari ke lapangan. Dia menutup matanya, mungkin sedang merasakan dinginnya hujan. Dia memelukku dan mengucapkan terimakasih.
“Kamu sudah pernah jatuh cinta?” Pertanyaan Almira membuatku gugup.
Aku menaikkan bahuku. “Kamu jatuh cinta?”
“Iya, aku mulai jatuh cinta.” Dia menyipitkan matanya.
“Kepada siapa?”
Almira mengumpulkan air hujan di tanggannya. “Kepada orang yang sudah memaksaku untuk berkenalan dengan air hujan.” Kumpulan tetes air hujan itu berhasil dilemparkan ke wajahku. Dia berlari ke tengah lapangan. Sungguh bahagia melihatnya tersenyum lepas seperti sedia kala.
Bagiku, hujan menyimpan cerita di setiap tetesnya. Hujan bisa memberimu cinta dan petaka. Hujan kala itu memang kejam, tapi tidak sekejam diriku yang telah mencuri hati Almira hingga membuatnya jatuh cinta.

-Selesai-
__________________________________
Alhamdulillah lolos jadi kontributor lomba cerpen tentang hujan by WA Publisher 2016. Cihuy 😄
Meskipun belum diberi anugerah menempati 1st place, semoga bisa nambah pengalaman nulis cerita aduhai nan menggemaskan 😳

Happy reading
See ya, fellas 😚

You Might Also Like

0 comments