1st Winner Seri Pemikiran Mahasiswa (SPM) LPM EDENTS Universitas Diponegoro 2017

Maret 05, 2018


Menembus Batas
Oleh: Kafiyatul Fithri

Tumpukkan berkas pendaftaran perguruan tinggi sudah tertata rapi di meja belajar. Kurang satu lagi yang teramat penting, Surat Penghasilan Orang Tua. Aku dan ayah bergegas meminta surat pengantar dari RT. Ayah muda berpostur tinggi menyambut kedatangan kami di rumahnya. Sembari menulis sesuatu di secarik kertas, beliau tersenyum setelah mendengar permohonanku mengenai surat pengantar itu.
            “Perempuan di rumah saja bantu ibumu. Sekolah jauh-jauh kalau ujungnya tetap 3M berarti buang-buang duit, nduk!” Istilah 3M memang cukup terkenal di kampung ini. Masak (Memasak), Macak (Berdandan), Manak (Beranak) begitulah kira-kira.
            Ayahku menanggapinya dengan santai. Sebagai seorang ayah yang tengah melihat putrinya tumbuh menjadi pribadi yang berpendidikan dan bermoral baik tentu kelak akan menjadi harta yang tak ternilai harganya.
            Ini secuil kisah yang membuat tekadku bulat untuk menjadi wanita sukses di masa mendatang. Banyak yang mengira aku berhenti melanjutkan pendidikan selepas SMA karena melihat teman-temanku sudah mempersiapkan acara pernikahannya masing-masing. Pengumuman calon mahasiswa baru cukup mengejutkanku, aku diterima pada pilihan pertamaku di sebuah perguruan tinggi dengan banyak kaum adam disana.
            “Bagaimana kehidupan anak teknik?” Salah seorang temanku, mahasiswi FKM bertanya kepadaku saat reunian pekan lalu.
            “Jarang mandi.” Jawabku sambil tertawa kecil.
 “Disana banyak cowok kan? Pernah ada yang disuka? Eh, kenalin satu dong ke aku.” Seperti itulah cuitan yang sering kudengar setiap bertemu dengan teman lama.
Siapa yang tidak pernah jatuh cinta? Pernah menyatakannya?
 Tunggu, wanita bilang duluan? Benar. Pernah dengar kisah Khadijah dan Nabi Muhammad SAW, Khadijah lah yang pertama melamar Nabi Muhammad melalui sahabatnya. Kesetaraan hak seperti itu nyatanya sudah ada sejak zaman Nabi. Begitu indah bukan?
Lebaran tahun ini tak banyak rumah yang ku sambangi, kebanyakan pergi ke rumah saudara yang letaknya lumayan jauh dari desa. Ketika suatu hari kedatangan tamu yang cukup dekat dengan keluargaku, mereka berniat menjodohkanku dengan pria yang sering mereka sebutkan dalam perbincangan.
“S1, sungguh. Punya sawah juga. Cocok lah buat anak ketiga.” Promosi yang menurut mereka meyakinkan.
“Nggak, jangan bilang jodoh. Tia bisa cari sendiri.” Aku bersikeras menolak.
“Orang-orang memang begitu, nduk. Nggak usah terlalu dipikirin. Sekolah dulu, lalu kerja di tempat yang baik. Urusan pendamping hidup itu yang jalani kamu, ayah dan ibu mendoakanmu.” Ayah dan Ibu berusaha menenangkanku.
“Aku boleh jadi Insinyur?” Tanyaku.
“Bahkan kamu boleh kok punya perusahaan sekelas Pertamina.” Ibuku tersenyum.
Pada kenyataannya, seorang pria mapan di luar sana akan mencari wanita yang cerdas. Siapa lagi bila bukan wanita dengan kepribadian yang baik dan senantiasa memantaskan diri sejak dini.
Persamaan gender antara wanita dan pria saat ini sudah sangat umum kita lihat. Banyak wanita masa kini yang berkiprah di dunia yang cukup keras. Aku melihat sosok Ibu Susi Pudjiastuti, Ibu Khofifah Indar Parawansa, Mbak Najwa Shihab, dan masih banyak wanita cerdas di sekitar kita, mereka mampu mencapai kesuksesan seperti sekarang. Wanita mampu menjadi kuat seperti pria, tapi tidak akan mungkin menjadi lebih kuat dari pria. Seorang putri tidak cukup berdiam diri menunggu pangeran menjemputnya. Wanita yang berkualitas adalah mereka yang memiliki pendirian dalam dirinya.
Tanyakan pada ayah, apakah seorang wanita pantas memiliki derajat sejajar pria. Tanyakan pada seorang pria, apakah dia mau memiliki istri yang membantunya mencari nafkah. Lalu katakan pada semua orang, wanita itu hebat.


_________________________________________________________________________________


You Might Also Like

0 comments