Diberdayakan oleh Blogger.

Pages

  • Home
  • Contact
facebook linkedin twitter

RETORI-KAF

BY KAFIYATUL FITHRI

    • Home
    • College
    • _High School
    • _Sepuluh Nopember
    • Lifestyle
    • Thought
    • Travel
    • Food
    • Story
    Mengapa kami digusur? Apa salah kami?
              Enam tahun Obi menempuh pendidikan di sebuah sekolah pinggir jalan. Sekolah itu telah berdiri sejak nenek Obi masih berusia lima tahun. Benar-benar lama sekali sekolah itu menjalankan aktifitas belajar mengajarnya di kota kecil ini. Tak banyak toko dan rumah berjejeran, hanya pohon-pohon besar yang mengelilingi sudut kota mendominasi. Obi menginjakkan kaki di sekolah itu saat bangunan tua tersebut telah berusia 60 tahun.
              Obi melihat sekelilingnya. “Kayunya tak rapuh sedikitpun, bahkan temboknya juga masih bagus dan hanya retak sedikit”. Pikir Obi saat masih kecil.
              Suka, duka, tangis, dan tawa semua menjadi satu disana. kenangan terindah saat Obi dituduh menjatuhkan temannya saat bermain kucing-kucingan pun juga masih teringat. Ketika dia menangis karena dihakimi teman sekelas, ketika ransel kecilnya dimasuki cacing oleh temannya, ketika dia mendapatkan nilai seratus saat ulangan PKN, semuanya masih terekam jelas di memori otaknya. Satu hal lagi yang tak akan bisa ia lupakan, bertemu dengan Ramos, kawan barunya pindahan dari Denpasar.
    ¶¶¶
              “Haha... lucunya”. Kata Obi.
              Dari semua kejadian itulah Obi semakin kuat dan tegar dalam menjalani hidup. Walaupun saat sekolah dasar ia selalu di-bully oleh teman-temannya yang lebih tua darinya, ia tak akan balik mem-bully temannya yang sekarang dengan alasan untuk balas dendam. Dalam hati kecilnya ia merasakan betapa tersisihnya posisi seseorang yang selalu terpojokkan. Persis seperti yang ia alami sebelumnya Obi tak ingin hal itu terjadi pada orang lain, cukup dia saja yang menimpanya.
              Dewasa ini Obi mulai mencoba menelusuri bagaimana lima tahun silam dia bisa tersingkir dari sekolah itu. sekolah yang Obi temapati tiba-tiba saja di pindah ke tengah sawah. Hanya karena masalah berebut tanah wakaf masalah bisa menjadi sebesar ini.
              Tanah yang dulu diwakafkan untuk dibangun sekolah, lima tahun yang lalu seseorang datang untuk mengambil alih kembali tanah wakaf tersebut dengan alasan dia adalah cucu dari si pemilik tanah. Akhirnya gugatan itu dimenangkan oleh si pemilik tanah. Terpaksa Obi, teman-teman Obi, dan guru-guru Obi pindah bangunan ke tengah sawah.
              “Betapa teganya orang itu, membiarkan anak seusia kami bermain dan berkeliaran kesana kemari di tengan-tengah area persawahan, bercuaca panas, serasa matahari berada satu jengkal di atasa kepala!”. Keluh Obi.
              “Bagaimana bisa sepicik itu? Bukankah ada sertifikat bangunannya?”. Tanya Garry, teman Obi di SMA.
              Obi menaikkan pundaknya. “Entahlah, gue dulu masih imut-imut masih polos, belum ngerti begituan!”. Jawab Obi.
              “Sampai sekarang loe masih berkunjung ke sana?”. Tanya Garry.
              “Kesana? Kemana? Ke sekolah yang lama atau bangunan baru?”. Obi balik bertanya.
              Mengusap dahinya. “Lah yang sekolah baru dong!”. Kata Garry.
              “Oh... masih kok, tapi sekarang udah jarang!”. Jawab Obi.
              “Sekolah... eh, salah! Maksudnya bangunan lama sekarang di pakai apa? Lahan kosong? Angker dong!”. Tanya Garry.
              “Hush... angker kepala lu! Itu tanah udah dibuat bangunan proyek besar. Malah bangunan yang di sebelahnya juga digusur!’. Kata Obi.
              Garry tak bisa menutup mulutnya karena terheran-heran. “Aneh tu orang. Gak kasihan ya sama anak kecil. Udah-udah... belajar dulu, malah ngrumpi!”.
              “Hehe...!”. Obi tertawa kecil.
    ¶¶¶
              Namanya juga orang lagi butuh uang, tanah wakaf pun jadi pengorbanan. Mungkin ini cobaan yang sudah sering dan umum terjadi di Indonesia. Pendidikannya aja tak terurus, bagaimana mau mencetak generasi bangsa yang berkualitas?


    -Sekian-
    Continue Reading
                Ketika mendengar kata mimpi, pasti sebagian besar dari kita akan mengartikan mimpi sebagai sebuah harapan. Yup, definisi itu memang benar. Namun untuk lebih spesifiknya lagi, mimpi diartikan sebagai suatu harapan yang ingin kita dapatkan.
                Mimpi itu sifatnya universal. Semua orang boleh bermimpi, tak terkecuali kita sebagai seorang pelajar. Sebuah mimpi tentu menjadi kunci utama dalam kesuksesan kita. Tanpa kita memiliki sebuah mimpi, kita tidak akan pernah tau tujuan hidup kita. Ibarat sebuah lagu : mimpi adalah kunci, untuk kita menaklukkan dunia. Di usia SMA, minimal kita harus sudah mempunyai gambaran akan masa depan masing-masing.
                Sangatlah penting dengan adanya sebuah mimpi pada diri seorang pelajar. Hal ini dapat menjadi acuan untuk meraih masa depan. Bila seorang pelajar memiliki mimpi, maka pelajar tersebut telah mempunyai gambaran tentang apa yang akan digapainya kelak.
                Ada pepatah mengatakan Where there is a will there is a way, dimana ada keinginan maka disitu ada jalan. Langkah pertama adalah tanamkan dalam diri kita bahwa kita menginginkan sesuatu yang ingin kita gapai. Karena keinginan merupakan konsep sebuah mimpi. Artinya keinginan adalah penjabaran dari mimpi kita. Dengan adanya penjabaran tersebut, maka kita akan memiliki petunjuk dan rumusan tentang bagaimana dan apa yang harus kita lakukan untuk mewujudkan impian kita tersebut.
                Setelah kita memiliki keinginan dan  merasa mantap dengan keinginan kita, maka kita harus melakukan berbagai action atau tindakan untuk mewujudkan keinginan kita. Misalnya, kita ingin menjadi juara kelas. Nah, usaha kita untuk menjadi juara kelas ialah dengan belajar dengan rutin dan sungguh-sungguh.
                Namun ibarat pepatah" semakin tinggi suatu pohon semakin kencang angin menerpa". Ketika kita melakukan seuatu untuk mewujudkan mimpi kita, seringkali hambatan datang untuk menggagalkan mimpi kita. Sebagai seorang pelajar, hambatan kita dalam mewujudkan mimpi kita ialah sifat malas. Namun sifat malas ibarat parasit. Artinya kita jangan memelihara sifat malas dalam diri kita. Kita harus menghilangkan sifat malas tersebut dengan membayangkan akibat buruknya.
                Untuk mewujudkan sebuah mimpi, tidak ada hasilnya bila kita tidak ada komunikasi dengan Tuhan. Karena Tuhan lah yang bisa mewujudkan impian kita. Kita sebagai manusia hanya bisa berusaha dan yakin bahwa semua impian bisa terwujud apabila kita bersungguh-sungguh berjuang untuk mendapatkan mimpi tersebut.
                Berdoalah selalu kepada Tuhan dan senantiasa Ingatlah Dia. Dengan kita mengingat Tuhan maka Tuhan akan selalu memberikan jalan kemudahan bagi kita. Kesulitan yang mungkin kita rasakan mustahil menjadi mungkin karena Tuhan memberikan kita kemudahan.
                Terkadang kita membayangkan betapa sulitnya mewujudkan sebuah keinginan. Namun jika kita punya strategi untuk mewujudkannya, maka mustahil bila kita tidak bisa mewujudkan impian kita.

                Inilah hakikat sebuah mimpi bagi pelajar. Yang artinya bukan saja kita berangan untuk menggapainya tetapi strategi apa yang harus kita lakukan agar mimpi kita dapat terwujud.
    Continue Reading
    Hidup ini memang tak semudah yang kita bayangkan, tak seindah yang kita harapkan, dan tak sejalan yang kita rasakan. Mungkin pernah sesekali aku memiliki kisah hidup yang bermakna indah tapi kadangkala aku juga memiliki perjalanan hidup yang rumit. Namun sejatinya hidup itu tak perlu disesali, malah seharusnya disyukuri.
    Malam itu Aku menangis tersedu tanpa ada kawan yang menemani. Diriku seperti dijatuhi ribuan pertanyaan yang tak bisa ku jawab. Aku rindu dengan seseorang yang sama sekali belum pernah aku miliki. Tapi ketika Aku bertemu dengannya, Dia seolah-olah tak menghiraukanku. Perlakuannya kepadaku 180o berbeda dengan perlakuannya kepada orang lain. Aku tak mengerti apa maksudnya. Malukah Dia? Atau memang Dia tak ingin bersahabat denganku?.
                Aku berlari ke dapur untuk membuat secangkir teh hangat dan duduk di bawah sinar bulan. Inilah diriku, ketika hati sedang bahagia Aku akan mencubit pipi semua teman-temanku. Namun, ketika sedang bersedih tanpa disadari Aku selalu ingin minuman hangat dan pergi ke tempat sepi. Aku termenung sambil mendekap kedua kakiku. Sesekali Aku menyeruput teh yang telah kubuat. Akupun mulai berpikir, inikah yang dirasakan orang ketika merasakan jatuh cinta? yang harus putar otak untuk mencari tau apakah orang yang kita sukai membalas cinta kita. Kurasa tidak!. Orang yang sedang kasmaran biasanya terlihat bahagia. Tapi mengapa Aku tak seperti itu?. Tak sedikitpun Aku merasa bahagia ketika jatuh cinta. Malah hal ini yang membuat Aku semakin menderita karena harus memikirkan hal yang bukan-bukan dan mengejar kisah yang tak pasti. Maklumlah, ini pertama kalinya aku Fall in Love jadi belum begitu terbiasa. Tak pernah terbesit di pikiranku, mengapa Aku menyukai orang yang sama sekali tak memperhatikanku. Bahkan Aku pun tau bahwa orang yang kuidam-idamkan ternyata menyukai temanku sendiri. Namun rasa itu tetap berlanjut hingga perlahan Aku mulai menjauhinya.
                Saat itu, Aku benar-benar tertarik padanya. Tingkah laku, kebiasaan yang ada pada dirinya semua kuperhatikan. Rasa cemburu terkadang muncul ketika Aku melihat dia bersama orang lain. Tapi Aku tetap sadar, rasa cemburuku ini tak akan berbuah apa-apa karena ku yakin dia tak kan melirikku sedikitpun.
                Waktu pun berlalu, semakin lama rasa itu semakin ada dan terus ada di benakku. Namun, tak pernah ku sangka jika rasa itu tak berbalas manis. Isak tangis dan air yang terus meluncur dari mataku menjadi membuatku semakin pilu. Tak tau harus berbuat apa untuk menyadarkannya jika sesungguhnya ada yang mengharapkannya di sini. 270 catatan tentang dirinya kutulis dengan harapan suatu saat nanti Aku bisa bersama dengan dirinya. Dan lagi, terjadi lagi, tulisan itu hanya karangan semu yang hanya bisa ku lihat. Bodohnya pikirku, mengapa Aku bisa menyukai orang bodoh seperti dia. Menderitanya diriku hanya melihatnya dari kejauhan, melihatnya bersama orang lain.
                Hanya satu yang ingin ku ucapkan sebelum Aku melupakan dan meninggalkan dia. Andai dia tau, Aku pernah menyukainya.

    -sekian-
    Continue Reading
    Lari dari sebuah masalah bukan merupakan jalan yang tepat untuk menyelesaikan masalah itu sendiri. Begitulah ungkapan dari sebuah buku yang berjudul ‘ANONYMITY’ yang dibeli Kara sebulan lalu. Dengan tak sengaja Kara menemukan buku ini di sebuah rak kecil di toko buku Garield. Walau tak tau maksud dari judul Anonymity ini, Kara tetap ingin membeli buku itu. Konon katanya, buku ini tak diketahui asal muasalnya sehingga buku ini amat misterius untuk di kaji lebih jauh.
    Selama ini Kara merasa tak pernah dipedulikan oleh semua temannya. Ia selalu menyendiri, berteman sepi. Terkadang ia berhalusinasi ingin berteman dengan makhluk tak kasat mata.
    Perlahan, Kara membuka halaman demi halaman dan membacanya dengan seksama. Namun belum sempat ia merampungkan halaman 98, bel tanda pulang sekolah pun berbunyi. Kara segera meraih tas punggungnya dan pergi meninggalkan kelasnya yang menurutnya ruangan paling angker dari kelas-kelas lainnya.
    Di sepanjang perjalanan, Kara terus menerus melamun tak menghiraukan keadaan sekelilingnya. Ia meletakkan tasnya di kursi kamarnya dan mengeluarkan buku Anonymity miliknya. Sambil membaca buku tersebut, Kara berinisiatif untuk mendengarkan lagu-lagu favoritnya di laptop. Ia memasang earphone di telinganya. Saat membuka folder yang berisi semua lagu-lagu kesukaannya, Kara menemukan sebuah lagu yang asing baginya. Tak ada judul dalam lagu tersebut. Karena penasaran, Kara segera memainkan lagu tersebut. Perlahan, mata Kara terpejam.
    666
    Kara membuka matanya dan ia kebingungan karena ia berada di tempat yang asing baginya.
    Ia melihat ke langit. “Kenapa hari begitu gelap, seharusnya hari ini cerah!”.
    Kara memandangi daerah di sekitarnya seperti tebing yang penuh dengan pepohonan tinggi dan kabut yang tebal. “Tunggu dulu, berarti tadi aku jatuh dari atas sana!”.
    Kara memeriksa kaki dan tangannya. “Tak ada luka sedikitpun!”.
    Tanpa berpikir panjang, ia segera berjalan meninggalkan tempat ia berada menuju ke tempat lain. Ia menemukan jalan setapak yang membawanya menuju ke sekolahnya. Sesampainya di sekolah, Kara disambut dengan hangat oleh semua temannya.
    “Hai... rambut kamu berantakan sekali. Sini, aku bantu merapikan!”. Kata Carol.
    “Iya terima kasih..!”. Kata Kara terpatah-patah.
    “Jangan grogi..!”. Kata Carol meyakinkan.
    Kara kembali berjalan menuju ruang kelasnya yang tak jauh dari lapangan basket. Setelah berada di depan pintu, tangannya ditarik oleh Dira, orang yang selama ini tak pernah mengajak Kara berkomunikasi.
    “Aku ingin berbagi makanan denganmu.. diterima ya!”. Pinta Dira.
    “Iya tentu!”. Ucap Kara sumringah.
    Hari ini sangat aneh.. semua teman Kara yang tadinya tak menghiraukan Kara, kini menjadi sangat peduli pada Kara. Ini hari baik bagi Kara.
    Kara berjalan di koridor melewati kelas-kelas lain. Ia begitu bahagia ketika semua siswa tersenyum saat melihat Kara.
    “Ini baru yang namanya hidup.. Aku ingin hidup seperti ini!”. Kata Kara.
    Hari mulai gelap, namun Kara tak kunjung menemukan rumahnya. Padahal ia hafal betul arah menuju rumahnya. Dengan terpaksa ia menginap di sekolah. Ia tidur di lantai kelasnya dengan meletakkan tikar yang sudah ada di lemari. Kara terbangun dari tikar karena tak bisa menutup matanya. Sejenak ia menatap langit-langit kelasnya.
    “Mengapa hari begitu cepat berlalu..?”. Pikir Kara.
    Kara segera mengalihkan pandangannya menuju ke jendela. Ia terkaget ketika melihat seberkas cahaya jatuh dari langit. Dengan segera ia berlari menuju jendela. Anehnya, cahaya itu bukan bintang jatuh ataupun meteor, melainkan sebuah buku yang dibeli Kara dengan judul yang sama yaitu ‘ANONYMITY’.
    Ketika Kara hendak mengambil buku itu dari atas tanah, ia melihat sesosok pria bertubuh tinggi dan besar berada di hadapannya.
    “Siapa kau? Apa yang kamu lakukan di sini?”. Tanya Kara ketakutan.
    Pria itu tersenyum. “Namaku Antonio!”.
    Anehnya lagi, Kara tak bisa mendengar nama pria tersebut. “Ha?? Aku tak bisa mendengar namamu!”.
    “Nanti kau akan tau sendiri! Aku adalah pengarang buku yang kamu pegang itu!”. Terang Antonio.
    “Mustahil! Pengarangnya tidak dicantumkan di dalam buku ini. Mungkin ia tak punya nama!”. Ujar Kara.
    Antonio tersenyum. “Ikutlah denganku. Kau akan tau semuanya!”. Katanya sambil menggandeng tangan Kara.
    666
    Antonio dan Kara menyusuri jalan yang penuh dengan semak belukar. Kara tak tau kemana ia akan dibawa pergi oleh pria asing itu.
    “Hei kau... bisa cari jalan lain gak? Jalan yang kita lewati ini penuh dengan semak belukar yang penuh dengan duri!”. Protes Kara.
    “Sstt.. diamlah! Lihatlah di sana!”. Kata Antonio sambil menunjuk tempat yang dimaksud.
    Ternyata, tempat tersebut penuh dengan teman-teman Kara yang selama ini tak peduli dengannya. Mereka terlihat sedang berputar mengelilingi api yang berkobar. Mereka juga terlihat berbeda, mereka sangat pucat.
    “Apa yang sedang mereka lakukan?”. Tanya Kara.
    “Mereka menunggumu!”. Jawab Antonio.
    “Untuk apa?”. Tanya Kara semakin penasaran.
    “Mereka ingin memiliki nama. Dengan adanya kamu di sana, mereka akan melakukan ritual untuk mengambil namamu!”. Jawab Antonio.
    “Aku akan mati di sana?”.
    “Lebih dari itu. Kamu tidak akan pernah bisa kembali ke alam nyata!”.
    “Maksudmu? Lantas, aku sekarang ada di mana?”.
    “Kau sekarang berada di alam lain dalam keadaan anonymity!”.
    “Tanpa nama?”. Heran Kara.
    “Ya. Aku ingin tau siapa namamu?”. Tanya Antonio.
    “Namaku K..k..ka..”. Kara tak bisa menyebutkan namanya. “Ihh.. mengapa bisa begini? Aku mau pergi.. aku tak mau terlibat dalam masalah ini!”.
    “Lari dari sebuah masalah bukan merupakan jalan yang tepat untuk menyelesaikan masalah itu sendiri!”. Tutur Antonio.
    “Ha??! Kalimat itu... Kau benar-benar penulis buku aneh ini!”. Tanya Kara.
    “Mengapa tidak?”. Jawab Antonio.
    “Maafkan aku. Jika kau penulisnya, berarti kau tau bagaimana jalan keluar semua tragedi ini?”.
    “Ya aku tau!. Pecahkan guci yang ada di tengah-tengah lingkaran setan yang dikelilingi teman jadi-jadianmu itu, maka kau akan kembali dengan selamat. Guci itu berisi nama yang sudah dikumpulkan mereka selama lima abad ini!”.
    “Jika aku kembali, kau juga akan kembali ke alam nyata?”. Tanya Kara.
    “Tidak, tugasku di sini. Menyelamatkan orang yang lari dari masalahnya sendiri. Seperti dirimu.!”. Kata Antonio.
    “Aku akan merubah semuanya menjadi lebih baik!”. Tutur Kara.
    “Ingat pesanku. Jangan pernah takut dalam menghadapi hal apapun!”. Kata Antonio.
    “Siap!! Oh ya, bagaimana aku bisa tau namamu?”.
    “Buka halaman 98, baca dengan teliti. Siapa tau ada tulisan transparan di halaman itu!”. Terang Antonio.
    “Transparan??.. Baiklah..!”. Kata Kara.
    “Sekarang waktunya kamu bebas. Pecahkan guci itu! jangan takut!”.
    Kara menganggukkan kepalanya. Dengan berani, ia menuju lingkaran setan tersebut dan mengambil guci itu.
    “Jangan pecahkan guci itu!”. Kata Carol yang juga ikut mengelilingi lingkaran setan.
    “Jangan hiraukan dia! Pecahkan sekarang juga!”. Teriak Antonio.
    “Aku akan selalu mengingatmu!”. Teriaknya pada Antonio.
    Tanpa pikir panjang lagi, Kara segera memecahkan guci itu.
    666
    Kara membuka matanya perlahan. Ia mencubit pipinya. “Auu.. sakit! Hei, aku kembali!”.
    Kara melihat di layar laptopnya. Durasi lagunya hanya lima menit tapi ia merasa seperti satu hari di alam lain tersebut. Ia ingat akan pesan pria misterius yang di temuinya di alam Anonymity untuk membuka halaman 98.
    “Halaman ini memang belum selesai aku baca!”. Katanya Heran.

    Dengan seksama ia mencari tulisan transparan yang dimaksud. Akhirnya ia menemukan tulisan tipis itu di sudut lembar halaman 98 itu. Di situ bertuliskan sebuah nama pengarang buku Anonymity tersebut yaitu, Antonio Byrthanyland-1513.

    -Sekian-
    Continue Reading

    Lapar... “Memangnya gue tadi sarapan apa sih?”. Duduk di samping Fanny. “Cari makan dulu yuk, Fan!”.
                Jojo mendengus. “Sarapan pake ikan Nila kan?”.
                “Sok tau!”. Bantah Nila. “Itu nama gue sendiri!”.
                “Bentar lagi, masih cari frame yang bagus nih!”. Kata Fanny.
                “Dari tadi jepret foto terus. Di sini udah ada banyak!”. Menunjukkan beberapa hasil foto di kamera milik Nila.
                “Nah itu kan kamera Anda. Punya saya? Masih dapat beberapa foto!”. Ujar Fanny.
                “Bawel! Istirahat dulu aja, Fan. Lagian lima jepretan udah cukup kok!”. Kata Jojo berusaha melerai. “Makan di Pigi-Pigi yuk!”. Ajak Jojo.
                “Pigi-Pigi lagi... Gak ada liburnya nih si Jojo ke sana!”. Manda angkat bicara.
                Nila hanya duduk termenung menunggu hasil keputusan kawan-kawannya. Satu menit, dua menit, tiga menit, tak kunjung mendapatkan hasil musyawarah yang mufakat. Nila pun berdiri di tengah-tengah mereka. “Kalau terus begini, kita pergi ke depot biasa aja. Nafsu makan mulai hilang!”.
                “Ke Pigi-Pigi aja. Nurut gue aja, pasti beres!”. Kata Jojo yang sok kepemimpinannya mulai keluar.
                Tanpa ba-bi-bu, keempat fotografer junior itu melesat ke tempat yang Jojo inginkan. Raut wajah Nila sudah tak seceria tadi pagi sewaktu pergi ke  taman kota.
                “Senyum dong, Nila.. kita kan mau makan!”. Kata Manda.
                “Menu-nya biasa aja. Ke Mario Cafe aja lebih nyantai . Pesen minum aja dah!”. Ujar Nila.
                Fanny melirik ke arah Nila yang sedang melihat-lihat daftar menu. “Nila, kamu harus makan. Dikit aja gak masalah...!”.
                “Nafsu makan hilang... Disini tempatnya orang berkelas atas!”. Sangkal Nila.
                Nila terus menyeruput jus jeruknya .Selang beberapa menit, makanan pun datang.
                Nila pun protes. “Hei, siapa yang pesen makanan buat gue? Lagi gak pengen makan. Siapa mau nambah?”. Tawar Nila kepada teman-temannya,
                Jojo, Fanny, dan Manda memandang Nila sinis.
                “Dihabiskan ya... ntar mubadzir lo. Harus makan dan nggak boleh nolak!”. Kata Jojo sambil menyodorkan piring berisi masakan jepang.
                “Jojo....!”. Rengek Nila namun tak ada yang merespon. “Ya deh, gue makan!”. Akhirnya Nila menyerah.
                “Makan disini tuh gak ada salahnya. Ayolah, betah-betahin aja disini. Pengunjungnya keren-keren kok!”. Bujuk Fanny.
                “Ye... emang gue cewek apaan!”. Bantah Nila.
                “Eh, lihat deh!”. Kata Manda menunjuk cewek yang duduk sendirian di dekat pintu. “Gadget-nya ampun-ampunan boss... ponsel di atas meja ada empat, BB semua tuh kayaknya!”. Lanjutnya.
                “Idih... konglomerat nagkring di Pigi-Pigi!”. Ejek Nila.
                “Ngomongin orang aja. Tu orang lagi jualan BB kali..!”. Sela Jojo.
                “Tau dari mana?”. Tanya Fanny.
                Jojo cengengesan. “Hehe.. gak tau. Asal ngarang doang!”. Jawabnya.
                Mereka pun tertawa cekikikan.
                Saat sedang asyik menyantap hidangan dan berbincang-bincang, Nila dan Fanny terdiam ketika lima cowok yang kelihatan seumuran mereka masuk Pigi-Pigi dan duduk tak jauh dari meja keempat fotografer.
                “Fanny, kamu tau apa yang aku lihat sekarang?”. Tanya Nila.
                “Lima cowok itu kan!”. Ternyata Fanny sepemikiran dengan Nila.
                Nila mengangguk pelan. “Suerr deh, yang pake jaket putih kelihatan keren banget!”. Katanya sambil mengambil kamera di dalam tas.
                “Eh.. eh.. mau ngapain?”. Tanya Fanny.
                “Manfaatkan kesempatan yang ada dong... Ambil gambarnya!”. Jawab Nila yang sudah berhasil mendapatkan foto laki-laki jaket putih tersebut.
                “Lagi, La... yang banyak!”. Pinta Fanny.
                Ckrekk...ckrekk...ckrekk. “Yes, bagus nak!”. Kata Nila.
                Tiba-tiba Nila meletakkan kameranya. Ekspresinya pun berubah menjadi ketakutan.
                “Kenapa La? Ada penampakan?”. Tanya Fanny menginvestigasi.
                Nila menggelengkan kepalanya. “Gue kepergok! Iya, waktu jepretan terakhir dia dan teman-temannya serempak lihat ke arah gue. Aduh.. malu banget! Gimana nih?”.
                Fanny pun juga ikut-ikutan panik. “Anggap nggak terjadi sesuatu aja. Balik ke point awal, mari kita makan!”.
                “Foto apa nih?”. Jojo mengambil kamera Nila yang masih menyala tergeletak di depannya.
                Nila berusaha mengambil kameranya namun Jojo tetap ingin melihat isi kamera tersebut. Jojo mengamati jepretan itu dengan seksama.
                “Kayaknya gue kenal ni anak!”. Kata Jojo.
                Jojo memalingkan wajahnya ke meja yang ditempati kelima cowok tersebut.
                “MIKO!!!”. Teriak Jojo kepada salah satu dari kelima cowok.
                Nila dan Fanny terkejut ketika yang membalas sapaan Jojo adalah cowok yang memakai jaket putih. Tanpa basa basi, cowok itu langsung menghampiri Jojo.
                “Aduh sial!”. Ucap Nila.
                “Kenalin nih, namanya Miko!”. Kata Jojo memperkenalkan Miko.
                “Hai!”. Sapa Miko.
                Tak canggung, Fanny membalas sapaan Miko. “Hai juga Miko. Aku Fanny, yang itu namanya Manda, dan yang disebelahku ini namanya Nila!”.
                Nila menyenggol lengan Fanny. “Malu-maluin!”.
                “O iya, Miko ini juniorku di fotografi. Jadi sebenarnya kita berempat ini udah pada senior!”. Lanjut Jojo.
                “Seriusan?? Ya Tuhan, kesannya gue tua banget!”. Desah Nila.
                “Hei, kak Nila! Kalau minta foto sekarang juga gak masalah kok!”. Ejek Miko.
                “Aish... ni anak kecil rese’ banget ya!”. Balas Nila.
                Miko hanya menjulurkan lidah.
                Mereka pun tertawa melihat kelakuan masing-masing tak terkecuali Nila yang harus menahan rasa malu.
                PIGI-PIGI... hari yang melelahkan. JJJ


    -Sekian-
    Continue Reading
    Lian sengaja mendengarkan lagu soundtrack film-film favoritnya melalui laptop untuk melepas lelahnya setelah seharian berkutik dengan soal ulangan Fisika di kelas. Hari ini Lian ada jadwal ekskul komputer di sekolah, jadi pulangnya agak telat. Untung ibu sudah tau Lian ikut ekskul ini, maklumlah... 3 tahun kedepan Lian ingin masuk penjurusan teknik informatika. Sebenarnya Lian begitu gak yakin bakalan masuk jurusan itu, tapi entahlah... Lauh Mahfudz belum membuka lembaran sampai segitu.
                “Hoi !!!”. Lian dikejutkan oleh teman sekelasnya saat sedang menikmati lagu.
                “Ira, ngagetin aja.. belum pulang?”. Tanya Lian.
                “Ngapain pulang? Aku ikut ekskul ini !”. Jawab Ira.
                Lian menengok ke arah Ira dengan ekspresi sedikit keheranan. “Serius ?”.
                “Seriusan... emangnya udah penuh ya?”. Tanya Ira.
                “Ah, belum kok... masih ada peluang buat masuk !”.
                “Yess”. Katanya dengan girang.
                Dengan cekatan dia langsung duduk bersebelahan dengan Lian. Entah mengapa Lian masih merasa janggal dengan dia. Terus terang, dari pertama masuk dulu Lian sudah merasa gak enak secara psikologis dengannya. Dari wajahnya terlihat sekali aura persaingan dan kebohongan. Hhh.. ngeri... :o
                1 jam berlalu, berarti waktu ekskul sudah habis. Lian segera membereskan semua peralatannya dan segera menuju  tempat parkir.
                “Lian, ikut kamu ke tempat parkir, ya!”. Pinta Ira
                “Boleh...”. Jawabnya.
                Ira terus mengikuti Lian hingga ke pintu gerbang sekolah. Karena Ira belum dijemput, tak sampai hati Lian meninggalkannya karena dia menunggu sendirian di sini. Lian dan Ira duduk di kursi dekat gerbang.
                “Kamu dulu sekelas sama Amira ya?”. Tanya Ira.
                “Maksudmu Amira Saraswati ? iya, dia teman sekelasku waktu SMP”. Jawab Lian.
                “Umm... dia temanku waktu SD !”. Kata Ira.
                Ha??. Batinnya dalam hati. Siapa yang tanya?
                Mencoba mengalihkan pembicaraan, Lian bertanya tentang kisah hidup Ira. Hingga akhirnya Lian tersentak dengan sebuah pernyataan mengenai keadaan Ira saat ini.
    “Kamu merasa ada yang aneh nggak dengan Dion ?”. Tanya Ira. Dion adalah teman sekelas kami.
                “Nggak tuh... Memang ada apa?”. Jawab Lian santai.
                “Kelihatannya dia suka sama aku deh!”.
                “Kok bisa?? Kamu ambil kesimpulan sendiri ya?”. Tanya Lian penuh tanda tanya besar.
                “Lian....! sadar gak, dari tatapannya itu udah kelihatan banget kalau Dion suka sama aku..!”. Kata Ira dengan kegirangan.
                “Maybe..!!”. Kata Lian sambil tersenyum kecut.
                Entah sampai kapan hal ini terus dipendam oleh Lian. Ira, bahkan semua orang pun tak tahu bahwa Lian sangat menyukai Dion. Mungkin ini memang jalan terbaik, menghapus Dion dari pikiran dan membantu Ira untuk lebih dekat dengan Dion. Desah Lian.
    Keesokan harinya...
                Kelas sudah ramai dipenuhi oleh para murid yang satu persatu mulai berdatangan. Lian berjalan di koridor sekolah dan berpapasan dengan Dion namun Lian tak mempedulikannya. Lian bersandar di tembok depan kelas untuk sekedar melihat suasana luar agar pikirannya lebih tenang. Selang beberapa menit Ira datang menghampiri Lian dengan membawa buku catatan Biologi.
                “Hari ini ulangan Biologi kan??”. Tanya Ira.
                “Ya”. Jawab Lian singkat.
                “Untungnya aku udah belajar semalam walau sedikit. Tumben ya?”. Kata Ira. Lian membalasnya dengan senyuman. “Sukses yakk!!”.
                Tiba-tiba Dion berdiri di hadapan Lian. “Pinjam buku catatan Biologi dong!”.
                Tak ada jawaban dari Lian.
                Dion mendengus. “Halo.. ada orangnya gak sih? Lian.. pinjam buku catatanmu!”.
                Lian menoleh ke arah Ira. “Boleh pinjam catatannya?”.
                “Oh, tentu!!”. Jawab Ira penuh semangat.
                “Ini bukunya!”. Cetus Lian sambil memberikan buku milik Ira.
                “Ini milik Ira. Aku maunya punya kamu!”. Pinta Dion.
                “Maksa banget sih? Aku males ke kelas! Ambil aja sendiri!”. Kata Lian.
                “Ya udah, thanks!”. Kata Dion sambil melangkah menuju ke bangku Lian di dalam kelas.
                Ira menatap Lian dengan ekspresi amat keheranan dan kebingungan. “Kamu memang begitu ya kalau sama Dion? Wah.... keren!!”.
                “Iya...!”. Balas Lian. “Lihat tuh Pak Farid kesini.. Ayo masuk!”.
                Ulangan Biologi hari ini dirasa cukup lancar bagi Lian karena dia sudah mempersiapkannya semalam dan pada saat ulangan berlangsung, tak ada yang mengusiknya sedikitpun. Pada saat ulangan, satu kelas akan dibagi menjadi dua babak dan Lian mendapat giliran pertama. Lian duduk di depan kelas bersama Kania, Mila, Yanis, Heni, dan Zilla. Dari kejauhan, Mila mendapati Ira sedang bersama Dion, Gilang, Salma, dan Bobi.
                “Eh eh... itu Ira bukan?”. Tanya Mila
                Lian menoleh kearah yang dituju Mila. “Iya, itu Ira.”.
                “Ngapain dia PDKT sama Dion? Nggak punya perasaan kali ya?”. Heran Yanis.
                Giliran Lian menoleh ke arah Yanis. “Maksudnya?”.
                “Ira kan tau kalau Gilang suka sama dia. Mestinya dia jaga perasaan lah.. bukannya kecentilan sama Dion. Dion juga udah tau kok hubungan antara Ira dan Gilang. Kalau aku jadi Dion, aku langsung pergi dari tempat itu sejauh mungkin yang aku bisa!”. Jelas Yanis.
                Lian mengetuk dahinya dengan jari telunjuk. “Kok jadi bingung ya?”.
                “Gak usah dipikirin. Yang penting kita nggak terlibat masalah itu kan?”. Kata Mila.
                “Siip lah!”. Kata Lian sambil tersenyum.
                Zilla mengajak Lian dan teman-temannya yang lain ke luar kelas saat jam istirahat.
                “Gimana tugas kelompok Sejarah punyamu? Udah selesai?”. Tanya Lian kepada Zilla.
                “Hehe.. belum. Habisnya males browsing di Internet.”. Jawab Zilla.
                “O ya, aku kemarin ada kelompok Sejarah sama Ira. Terus aku pinjam HP nya buat SMS ayah. Gak sengaja aku buka inbox nya, ternyata isinya full dengan SMS dari Dion dan Gilang!”. Kata Mila.
                Lian, Zilla, Heni, Yanis, dan Kania saling berpandangan. “Beneran?”. Tanya Heni mencoba memastikan perkataan Mila.
                “Ngapain aku bohong sama teman sendiri? Aku lihat kemarin, SMS nya dengan Gilang biasa aja nggak ada yang spesial!”. Lanjut Mila
                “Mungkin Gilang gugup mau SMS gimana. Terus SMS nya dengan Dion gimana?”. Tanya Zilla.
                “Ini ceritanya lain lagi. SMS nya seru banget, kaya udah temenan lama!”. Jawab Mila.
                “Berarti ada kemungkinan kalau Dion menyukai Ira?”. Tanya Kania.
                “Tepat banget!!”. Cetus Mila.
                Syukurlah kalau Dion suka sama Ira. Berarti semua berjalan sesuai rencana. Batin Lian.
    {{{
                Selang beberapa hari Lian sama sekali tak berkutik tentang keadaan Dion akhir-akhir ini. Lian lebih memilih fokus terhadap apa yang akan terjadi selanjutnya.
                Tiba-tiba semua anak yang berada di luar kelas berteriak serempak.
                “Ada apa sih?”. Lian mengintip dari jendela disusul Dion yang berada tepat disampingnya. Dengan shock, Lian melihat Ira tersipu malu saat dia ditembak oleh Gilang. Ira pun menerima Gilang sebagai pacarnya.
                Ira benar-benar sudah gila. Kata Lian dalam hati.
                Perlahan tapi pasti Lian melihat ke arah Dion yang berada di sampingnya. Dion terlihat biasa saja dengan kejadian yang dilihatnya saat ini.
                Lian terus-terusan kebingungan dengan sikap Dion melihat gadis pujaannya sudah menjadi pacar orang lain. Raut mukanya terlihat santai dan masa bodoh dengan kejadian tadi. Lian mulai memprediksi. Pertama, Dion cemburu, makanya dia terlihat diam. Kedua, Dion benar-benar gak sadar apa yang sedang dilihatnya saat itu. dan yang terakhir, Dion sudah nggak ada rasa lagi sama Ira. “Arrgghhh!!! Menyebalkan!!!”. Teriak Lian dari dalam kamar.
                “Lian... Kamu baik-baik saja kan?”. Terdengar suara Ibu dari luar.
                “Ya.. aku baik-baik aja!”. Balas Lian.
                Lian segera naik ke ranjang tidur karena jam di mejanya sudah menunjuk pada angka sepuluh dan berharap besok menjadi hari yang lebih baik dari hari ini. GOOD NIGHT.
    Beberapa minggu kemudian...
                Lian mendapati Dion sedang diam seorang diri di bangkunya. Lian mencoba menghampirinya.
                “Dion...”. Sapa Lian sambil duduk di depannya.
                “Hai!”.
                “Masih broken heart ya?”. Tanya Lian.
                “Ngapain juga pake acara broken heart?”. Cetus Dion.
                “Bukannya kamu suka sama Ira?”.
                Dengan sigap Dion menutup mulut Lian dengan telapak tangannya. Lian pun melepaskan tangan Dion.
                “Tuh kan bener!”. Lian mencoba menebak.
                “Sstt.. di sini ada banyak orang. Jangan nyebar gosip yang bukan-bukan!”. Jelas Dion.
                “Pertanyaan yang tadi belum kamu jawab!”.
                “Yang mana?”. Dion berlagak bingung.
                Lian memasang wajah cemberut. “Ya sudah kalau lupa!”. Lian beranjak pergi.
                “Iya ya... aku ingat!”. Kata Dion. Lian pun kembali duduk. “Aku tak pernah ada rasa sama Ira!”.
                “Aku sama sekali nggak yakin tuh..!”. Kata Lian.
                “Ok ok. Aku dulu ada rasa sama Ira tapi sekarang tidak lagi!”. Kata Dion.
                “Kenapa?”.
                “Masa kamu gak tau kalau sekarang Ira udah jadi pacarnya Gilang?”. Ucap Dion.
                “Oooo gitu ya.. ya udah... segitu aja. Aku cuma mau menghibur kamu aja kok!”. Kata Lian sambil beranjak pergi lagi.
                “Aku move on lagi!”. Kata Dion yang mengejutkan Lian.
                Lian membalikkan badannya. “Maksudnya? Mau move on kemana?”.
                “Ke kamu!”. Kata Dion.
                “Jangan ngaco deh!”. Ucap Lian agak sedikit salah tingkah.
                “Jangan berlagak bego!”. Kata Dion.
                “Mmmm.... ini beneran?”. Tanya Lian.
                “Iya, aku serius!”. Kata Dion penuh keyakinan.
                Lian berjalan mundur. “Beri aku waktu ya...!”.
                “Sampai kapan?”.
                “Mmmm... sepuluh menit lagi!”. Kata Lian sambil berlari ke luar kelas.
    10 menit kemudian...
                Dion menghampiri Lian yang sedang berada di taman.
                “Lian...!”. Sapa Dion.
                “Eh iya..”.
                “Gimana tentang yang tadi?”. Tanya Dion.
                Lian menggelengkan kepalanya. “Iya!”.
                “Yang benar yang mana?”. Tanya Dion lagi.
                Lian tersenyum dan tersipu malu. Lian berlari meninggalkan Dion yang masih berada di taman.


     -Sekian-
    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me


    Photo Profile
    Kafiyatul Fithri ENGINEERING STUDENT

    Spread Kindness Like Confetti


    An engineering student who loves words by share it to the others through the pen and the lens

    Follow Us

    • facebook
    • twitter
    • bloglovin
    • youtube
    • pinterest
    • instagram

    Community

    Blogger Perempuan

    Labels

    BPN BPNRamadhan College Food HighSchool Lifestyle SepuluhNopember Story Thought
    Foto saya
    Kafiyatul Fithri
    Lihat profil lengkapku

    Recent Post

    Sreet Food Bundaran ITS Surabaya : Euphoria Ramadan a la Kampus Pahlawan

    Popular Posts

    • Kuliah Rasa Kopi
      Bukan biografi, bukan pula opini yang biasa saya tulis disini. Mungkin terlihat seperti testimoni. Dari seorang mahasiswi yang s...
    • SUTET : Part of Elektro ITS
      Untuk kesekian kalinya bahagia karena dipertemukan dengan sebuah keluarga kecil yang benar-benar menjaga penuh makna solidaritas dan kekera...
    • Menyesal? Sudahlah Jalani Saja
      Libur panjang yang menuai penyesalan. Siap atau tidak mengambil resiko yang akan aku ambil ketika sudah menjalani hari-hari itu. Ya Tuhan, ...
    • PENTINGNYA SEBUAH MIMPI BAGI PELAJAR
                  Ketika mendengar kata mimpi, pasti sebagian besar dari kita akan mengartikan mimpi sebagai sebuah harapan. Yup, definisi itu ...
    • PIGI - PIGI -Cerpen-
      Lapar... “Memangnya gue tadi sarapan apa sih?”. Duduk di samping Fanny. “Cari makan dulu yuk, Fan!”.             Jojo mendengus. “Sarap...

    Contact Us

    Nama

    Email *

    Pesan *

    Followers

    Visitors

    Blog Archive

    • Mei 2019 (1)
    • Februari 2019 (1)
    • Januari 2019 (1)
    • November 2018 (1)
    • Agustus 2018 (1)
    • Juni 2018 (1)
    • Maret 2018 (2)
    • Mei 2017 (1)
    • Oktober 2016 (1)
    • Agustus 2016 (2)
    • Juli 2016 (3)
    • Juni 2016 (3)
    • April 2016 (1)
    • Februari 2014 (1)
    • November 2013 (8)

    Cari Blog Ini

    Laporkan Penyalahgunaan

    facebook Twitter instagram pinterest bloglovin google plus tumblr

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top