Arti Sebuah Penantian -Cerpen-

November 18, 2013

Ku langkahkan kaki ku di sepanjang jalan setapak menuju taman di kampus. Angin semilir terus menabrak tubuhku yang mulai lemas. Mulut pun terdiam, tak ingin berbicara pada siapapun dan tak ingin membicarakan apapun. Sebuah bahasan yang mengingatkanku kepada seseorang yang dulu pernah ku harapkan. Namun, harapan itu tak lagi muncul dan mungkin telah sirna dari benakku. Sudah lama aku tak bertemu dengannya. Tak pernah tau lagi apa yang sedang dilakukannya sekarang. Padahal dulu, kami selalu berbagi cerita tentang apa yang sedang kami kerjakan. Meski awalnya aku begitu bahagia tapi aku tak pernah tau kisah yang akan menimpaku selanjutnya.
            Aku memilih duduk menyepi di dekat bunga-bunga yang sedang bermekaran. Masih teringat dulu ketika aku bercanda dan masih bisa tersenyum sama lain. Ketika kami masih bekerja sama dan ketika aku marah dengannya karena aku cemburu melihatnya dekat dengan orang lain. Semua itu menghiasi hidupku dan kini tak kan lagi ada yang bisa seperti itu. Satu hal lagi yang begitu mencengangkan bagiku, yaitu ketika diriku juga menyukai teman dekatnya. Aku tak bisa memilih antara cinta atau persahabatan. Aku dekat dengan keduanya, kami bertiga bersahabat. Ku teteskan air mata, sambil tersenyum aku berkata “Tuhan sayang Luna. Tuhan gak mungkin bikin Luna tersiksa karena ini.”
            Angin kembali berhembus dengan kencang membawa dedaunan jatuh pergi menjauh dari tempat asalnya. Aku pun menutup mataku sembari menanti angin kembali tenang. Aku melihat ke pangkuanku, ada sebuah daun berbentuk hati tergeletak.
            Tersenyum kecut. “Hati?? Aish.. masih percayakah aku pada hal-hal seperti ini?”. Kata-kata itu langsung saja terucap karena mungkin sudah mulai merasa bahwa tak semua orang itu mempunyai perasaan.
            “Hei... mikirin apaan sih? Nggak ada gunanya juga mengingat cerita itu lagi!”. Desahku.
            Menatap ke langit yang begitu biru membuat hatiku sedikit lebih lega. “Dio, Raihan... aku rindu kalian!”.
            Kakiku kembali melangkah meninggalkan taman menuju kampus. Sesampainya di kampus, aku tak melihat ada sesuatu yang membuatku tertarik. Akhirnya aku berbalik arah menuju gerbang kampus.
            “Hei... kau si Lunar!!”. Suara itu mengingatkanku pada seseorang.
            “Ha? Benarkah itu???”. Desahku yang belum juga membalikkan badan.
            “Lunar! Kau benar Luna kan?”. Teriakannya semakin membuatku yakin bahwa itu memang suara...
            Aku membalikkan badanku.
            “Dio!”. Kataku.
            Lunar adalah kata sapaan Dio kepadaku saat dulu masih berada di bangku SMA.
            Dio pun tersenyum. “Kau masih mengingatku? Syukurlah!”.
            Namun, perlahan aku berjalan mundur karena tak kuat mengingat semua kejadian yang dulu pernah membuatku sakit hati. Dio melangkahkan kakinya dengan cepat menuju ke hadapanku.
            “Kau Luna?”. Tanya Dio.
            Aku mengangguk pelan.
            “Semenjak kuliah di sini kamu terlihat semakin cantik!”. Pujinya padaku.
            “Leluconmu nggak membuatku tertawa!”. Bantahku.
            “Ha? Aku serius... kamu sekarang berubah. Tapi mengapa tetep cuek kaya dulu ya? Malah terlihat pendiam!”. Kata Dio.
            Tersenyum kecil. “Memang dasarnya aku itu anak pendiam. Kita duduk di taman aja ya. Nggak enak di sini dilihat orang!”. Kataku.
            Sebenarnya aku agak sedikit canggung untuk memulai percakapan, tapi mau bagaimana lagi.. aku juga yang mengajaknya ke taman.
            “Kok kamu bisa ke sini? Bagaimana dengan kuliahmu?”. Tanyaku.
            “Aku ada libur. Makanya aku sempet-sempetin mampir kesini buat ketemu kamu!”. Jawab Dio.
            “Biasa aja kali...!”. Ujarku tersipu malu.
            Menghela napas. “Ternyata kamu cukup terkenal di sini. Nggak susah lo tadi aku cariin kamu!”. Ungkap Dio.
            “Biasa aja!”. Kataku. “O ya, Raihan mana?”. Lanjutku.
            Raut wajah Dio seketika berubah ketika aku menanyakan tentang Raihan. “Dia di rumah orang tuanya!”.
            “Kenapa nggak diajak kesini?”. Tanyaku lagi.
            “Kok kamu jadi nanyain Raihan sih? Yang sedang ada di sini itu Dio, bukan Raihan!”. Bentak Dio.
            Aku tertunduk sedih mendengar ucapan Dio. “Salah ya kalau aku tanya tentang kabar Raihan?”.
            “Maaf kalau aku tadi terlalu keras. Aku nggak suka kalau kamu nanyain Raihan!”. Kata Dio.
            Dengan terkejut aku menatap Dio dalam-dalam. “Kenapa?”.
            Dio menghela napas panjang. “Karena aku mengagumimu.. Aku suka sama kamu!”. Ungkap Dio.
            Air mataku pun mulai menetes membasahi pipi. Sebenarnya, itu adalah kalimat yang paling ku tunggu selama duduk di bangku SMA dulu. Karena rasa itu telah sirna, aku pun mulai berpindah hati kepada Raihan.
            “Mengapa kamu menangis?”. Tanya Dio.
            Aku mengusap air mataku. “Aku nggak nagis...cuma terharu aja!”.
            “Soal yang Raihan tadi... apakah kamu suka sama dia?”. Tanya Dio.
            Tanpa ada kata, aku terdiam membisu untuk sesaat.
            “Kenapa nggak jawab?”. Dio mulai terpancing.
            Dan lagi, aku tertunduk karena tak tau harus menjawab apa.
            “Berati dugaanku selama ini benar. Kamu suka sama Raihan.. ya kan?”. Tebak Dio.
            “Maafkan aku, karena dulu aku tak pernah tau kalau kamu menyukaiku...!”. Kataku.
            Dio memandangku. “Semua yang dulu terjadi apakah tak cukup untuk membuktikan kalau aku benar-benar ada rasa denganmu?”.
            “Aku baru pertama kali jatuh cinta!”. Jawabku singkat.
            “Tapi kenapa?”. Dio terus mendesakku.
            “Karena kau tak pernah bilang!”.Ungkapku. “Aku rindu denganmu, tapi aku juga rindu dengan Raihan.. aku tak bisa memilih antara cinta dan persahabatan!”. Lanjutku.
            Mata Dio mulai berkaca-kaca. “Aku sangat mengharapkanmu. Jika aku mengatakannya sekarang, apakah kamu masih membuka hati untukku?”.
            Aku mengangguk.
            “Aku mencintaimu!”. Kata Dio lantang.
            Aku tersenyum bahagia karena sekarang aku tau bahwa Dio benar-benar mencintaiku dengan tulus. Dengan sebuah penantian yang cukup lama akhirnya aku menyadari bahwa aku dulu salah, dia sama sekali tak memberiku harapan palsu... Dio bukan seorang pemberi harapan palsu. Semua akan indah pada waktunya.


-Sekian-

You Might Also Like

0 comments